Jakarta -
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka kembali keran ekspor pasir laut yang sudah dilarang sejak 20 tahun lebih. Namun katanya yang diekspor sedimen bukan pasir.
"Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka itu sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi bukan, kalau diterjemahkan pasir, beda lho ya," kata Jokowi di Menara Dasareksa, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).
Untuk tahu perbedaan sedimen dan pasir laut, detikTravel melakukan wawancara dengan Widodo Setiyo Pranowo, peneliti ahli utama bidang oseanografi terapan dan manajemen pesisir pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, BRIN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya akan memulai dari terminologi 'Sedimentasi' yang berasal dari kata 'Sedimentation' (bahasa Inggris) yang artinya 'the action or process of forming or depositing' yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi 'suatu proses pembentukan atau pengendapan sedimen'," ujar Widodo.
Apa itu Sedimen?
Secara teoritik, proses pembentukan dan pengendapan sedimen bisa secara biogeokimia dan/atau secara fisika, di mana ecepatan pengendapan sangat tergantung dari ukuran butir sedimen tersebut. Ukuran butiran sedimen secara umum adalah mulai dari seukuran batuan bongkah besar (boulders), batuan bongkah kecil (gravels), pasir (sand), lumpur/lanau (silt), lempung (clay), hingga debu (dust).
Ukuran butir sedimen, umumnya diklasifikasikan berdasarkan Skala Wentworth. Sedimen dengan ukuran butir 100 - 250 mm, diklasifikasikan sebagai tipe 'boulders' atau bongkahan besar. Batu besar, adalah contoh dari sedimen ukuran ini.
"Sedimen dengan ukuran butir 2 mm hingga kurang dari 250 mm, diklasifikasikan sebagai 'gravels' atau bongkahan kecil. Contoh Sedimen tipe ini adalah batuan granule, pebble, cobble," ungkapnya.
Kemudian ada sedimen dengan ukuran butir 0,0625 mm hingga kurang dari 2 mm yang diklasifikasikan sebagai 'sand' atau pasir. Pasir ini pun memiliki beberapa tipe pasir, yaitu pasir sangat halus (0,0625 - 0,1249 mm), pasir halus (0,125 - 0,249 mm), pasir sedang (0,25 - 0,49 mm), pasir kasar (0,5 - 1 mm), dan pasir sangat kasar (1 - 1,9 mm).
Sedangkan sedimen dengan ukuran butir 0,0039 mm hingga ukuran kurang dari 0,0625 mm diklasifikasikan sebagai 'silt' atau lumpur atau lanau. Lumpur atau Lanau ini memiliki tipe: lanau sangat halus (0,0039 - 0,00779 mm), lanau halus (0,0078 - 0,01559 mm), lanau sedang (0,0156 - 0,0309 mm), lanau kasar (0,031 - 0,06249 mm).
Tak hanya itu, masih ada sedimen dengan ukuran yang lebih halus lagi daripada lanau, yakni: 'clay' atau lempung dengan ukuran butir kurang dari 0,0039 mm, dan 'dust' atau debu dengan ukuran butir kurang dari 0,0005 mm.
Biota dan flora laut yang mati juga ikut ambil bagian dalam pembentukan sedimen. Saat tubuh mereka hancur terurai, mereka mengendap di dasar laut, menjadi sedimen super halus (membetuk lapisan sangat sangat tipis) di permukaan dasar laut, sering disebut sebagai 'fluff layer sediment'. Sedimen jenis ini ukuran butirnya sangat-sangat halus, sehingga rentan teraduk/teresuspensi oleh arus di lapisan dekat permukaan dasar laut.
"Ketika menilik kembali kepada Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pada Bab 1 Pasal 1 ayat 1 tercantum bahwa yang dimaksud hasil sedimentasi di laut adalah sedimen di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran," jelas dosen pengajar Prodi Hidro-Oseanografi pada Sekolah Tinggi Teknologi TNI Angkatan Laut (STTAL) itu.
Dalam hal ini bisa diinterpretasikan bahwa semua semua material alami mulai dari batu, pasir, lanau, dan lempung yang disebut dalam peraturan pemerintah dapat diambil dan dikelola oleh pengusaha.
"Jadi bukan hanya pasir saja, karena tujuan dari peraturan pemerintah tersebut adalah membersihkan sedimentasi agar ekosistem laut menjadi lebih sehat. Sementara sebagai pengusaha, tentunya yang diinginkan adalah material sedimen pasir yang bernilai ekonomis," jelasnya.
Lantas yang menjadi pertanyaan ilmiah selanjutnya adalah seberapa banyakah konsentrasi pasir yang bernilai ekonomis di antara total seluruh hasil kerukan sedimen?
"Untuk mengestimasi volume konsentrasi pasir laut di antara hasil sedimentasi di laut tersebut maka diperlukan studi kelayakan (feasibility study) berdasarkan survei dan pengukuran, di calon lokasi yang akan dibersihkan, oleh tim yang terdiri dari beberapa ahli seperti ahli geologi, ahli oseanografi, ahli hidro-geologi, ahli teknik pantai, ahli teknologi kelautan, ahli ekologi laut, ahli sosial masyarakat nelayan/pesisir, dan ahli valuasi ekonomi lingkungan," jawabnya.
PP nomer 26 tahun 2023, tujuannya adalah mengatur pengelolaan hasil sedimentasi di laut untuk: 1) menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut; dan 2) mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. Jadi tujuan utamanya adalah baik.
"Namun, untuk diimplementasikan secara teknis, agar 'kegiatan pembersihan dan pengambilan sedimen' tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat nelayan/pesisir di sekitar lokasi yang akan dibersihkan, maka diperlukan instrumen turunan yang detil dan applicable, yang mengatur tentang bagaimanakah perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan," jelasnya.
Untuk itu diperlukan bantuan banyak ahli teknologi kelautan untuk mereview dan mencari teknologi pengerukan sedimen yang memiliki kemampuan untuk meminimalisir dampak kekeruhan yang terjadi pada saat pembersihan dan pengerukan sedimen di laut.
"Dampak kekeruhan akan tetap terjadi di kolom air laut pada saat pembersihan dan pengambilan sedimen di laut tersebut. Kemudian akan mengusir sementara waktu ikan-ikan yang hidup di lokasi tersebut," sambung Widodo.
Diperlukan simulasi pemodelan (komputasi) numerik hidrodinamika dan transport sedimen untuk memprediksi durasi kekeruhan.
"Harap dilakukan studi yang lengkap dan komprehensif untuk calon lokasi pembersihan dan pengambilan sedimen di laut, sehingga dampak negatifnya bisa diketahui sejak dini dan mampu merencanakan penanggulangan dan/atau pengelolaan dampak negatifnya agar tidak terjadi konflik lingkungan dan sosial," pungkasnya.
(bnl/bnl)