Jakarta -
Ini bukan pertama kalinya saya berkunjung ke daerah dingin. Saya cek suhu di ponsel, Dieng bersuhu 13 derajat!
Pemandu wisata bercerita, puncak suhu terdingin terjadi di bulan Agustus, bisa sampai mendekati minus. Begini saja dinginnya sudah sangat menggigit.
Apalagi suhu di bawah belasan, bisa-bisa membeku! Aneka pakaian tebal, topi, kaus kaki, sarung tangan, sudah saya pakai. Udara dingin tetap menembus tulang. Saya sampai tidak nyenyak tidur karena menggigil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal di penginapan tersedia selimut tebal dan air panas untuk mandi. Nyatanya, saya tetap enggak kuat. Kebanyakan orang mengenal Wonosobo dengan dataran tinggi Dieng-nya. Saya pun demikian. Saya penasaran, apa bedanya kawasan Dieng dengan Bromo? Keduanya sama-sama daerah super dingin, punya negeri di atas awan, dan setiap tahun punya festival.
Pertanyaan saya terjawab saat berkunjung, di antaranya, saya baru tahu kalau penduduk Dieng mayoritas muslim. Sedangkan di Bromo, mayoritas Hindu.
Ada banyak destinasi menarik yang bisa dikunjungi saat di Wonosobo. Sayangnya saya hanya sempat berkunjung ke Bukit Scooter, Pintu Langit, Komplek Candi Arjuna, Kawah Sikidang, dan Telaga Warna. Mungkin ini pertanda, suatu saat saya harus kembali kesini.
Sunset dan Sunrise Saya selalu menikmati momen saat melakukan perjalanan ke dataran tinggi. Pemandangan alam sepanjang perjalanan tak pernah luput membuat saya takjub.
Seperti almarhumah ibu saya, sepanjang perjalanan saya berusaha tetap terjaga, karena saya tidak ingin melewatkan sedetik pun pemandangan indah yang tersaji di depan mata.
Seperti para pelancong lain yang datang ke Wonosobo, saya pun ingin menikmati sensasi menyaksikan matahari tenggelam dan terbit di Dieng Plateu. Pemandu wisata saya dan rombongan rupanya memilih Bukit Scooter untuk mengajak kami menyaksikan matahari terbenam.
Sedangkan untuk matahari terbit, pemandu mengajak kami ke Pintu Langit. Kejadian mendebarkan terjadi saat bus kecil membawa saya menuju Bukit Scooter. Jalannya menanjak dengan kemiringan yang sangat curam dan hanya cukup dilalui satu kendaraan roda empat. Berkali-kali bus berhenti, seolah mengambil napas untuk naik.
Duh, pikiran selalu khawatir bus tidak kuat menanjak dan akan mundur! Sesampai di atas, ternyata bukit sudah dikuasai kabut tebal. Matahari terbenam pun tidak tampak sama sekali. Agak kecewa sih, anggap saja belum rezeki.
Saat di Pintu Langit, bersyukur bisa menikmati matahari terbit. Tempat ini dilengkapi spot foto aneka rupa yang instagramable. Yang berniat uji nyali, bisa naik ke wahana yang menyerupai jembatan kaca.
Saya menunggu beberapa waktu untuk naik ke situ, menunggu agak sepi. Naik dalam keadaan banyak orang yang umpel-umpelan, rasanya ngeri-ngeri sedap. Berkenalan dengan Kentang Karamel di Komplek Candi Arjuna Kebetulan tempat saya menginap tidak jauh dari Komplek Candi Arjuna. Tinggal jalan kaki 10 menit, sampai.
Komplek candi ini terletak tidak jauh dari tulisan perbatasan wilayah Dieng dan Banjarnegara. Ada lima candi di komplek ini, yaitu Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra.
Sayangnya waktu saya datang, ada candi yang sedang direnovasi. Saat memasuki Komplek Candi Arjuna, masing-masing wisatawan dipinjami selembar jarik putih bermotif. Jarik ini bisa digunakan sebagai properti foto.
Saat mengembalikan, pengunjung bisa menyumbang uang seikhlasnya. Dari pintu masuk, pengunjung akan melewati jajaran pedagang aneka oleh-oleh khas Dien.
Salah satunya, tentu saja olahan carica-pepaya mini Dieng-yang sangat tersohor itu. Saya pun memborong minuman carica. Oiya, ada lagi yang khas. Pertama kalinya saya jajan kentang karamel. Saat sekilas melihatnya, saya kira pentol.
Ternyata kentang kecil-kecil (kentang rendang) yang dimasak dengan bawang merah, bawang putih, garam, dan gula merah. Pedagang menjualnya panas-panas dari wajan besar.
Makan kentang karamel panas di tengah udara dingin. Ah, sedap! Sebelum beranjak dari komplek candi ini, jangan lupa berfoto dengan Anoman dan kawan-kawannya, ya! Dengan Rp 10.000-Rp 15.000, pengunjung bisa berfoto bersama para cosplay tokoh Ramayana.
Menyantap Telur Kawah Destinasi Kawah Sikidang tak kalah menarik dari destinasi lain di Dieng Plateu. Bukan hanya pemandangan kawahnya yang saya nikmati, tetapi juga pengalaman uniknya.
Saat sampai di kawah yang sekelilingnya dipagari, ada bapak-bapak yang berada di dalam area itu. Saya kira beliau ngapain bawa kayu panjang dengan posisi seperti sedang memancing ikan.
Ternyata sedang memasak telur pakai air kawah! Memasaknya tidak sampai 10 menit lho, saking panasnya air kawah! Saya pun mencoba memakan sebutir telur yang dimasak dari kawah. Bagaimana rasanya? Ya seperti telur, sih. Hanya saja, keunikan pengolahannya ini yang membuat pengalaman memakan telur jadi terasa luar biasa.
______
Yuk ikut menjelajah keindahan Sumenep dengan mengirim cerita perjalanan kamu. Klik di sini.