Jakarta -
Jika traveler mengalami sakit perut dan lebih sering buang angin di dalam penerbangan, tenang, anda tidak sendiri. Itu karena ada alasan secara saintifik.
Rata-rata orang buang angin sekitar 12 hingga 25 kali sehari. Tetapi, saat berada di pesawat, seseorang bisa semakin sering buang angin.
Melansir Scientific American, Kamis (5/9/2024), selain merasa kembung, beberapa orang mungkin mengalami masalah perut lainnya selama perjalanan udara. Kendati ilmuwan belum secara langsung mengukur perubahan kondisi pencernaan saat berada di penerbangan, tetapi telah ada beberapa petunjuk mengapa hal itu terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat terbang di ketinggian, tekanan atmosfer akan menurun. Perubahan tekanan itu membuat udara terasa lebih tipis karena jumlah oksigen akan lebih sedikit. Tekanan udara yang rendah dan suhu dingin menyebabkan udara mengembang. Itu menyebarkan molekul seperti oksigen, nitrogen, dan argon.
Ahli pencernaan di Digestive Disease Medicine of central New York, Harvey Hamilton Allen, Jr, menjelaskan bahwa saat darah tidak membawa oksigen yang cukup ke jaringan, hal itu menyebabkan hipoksia. Lalu saat kadar oksigen di dalam tubuh berkurang, hal itu memperlambat aktivitas enzim pencernaan yang berisiko menyebabkan masalah pencernaan.
Kata Allen, penelitian terkait hipoksia juga mengindikasi beberapa perubahan pencernaan lainnya, mulai dari sakit perut hingga masalah yang lebih parah seperti pendarahan di usus.
Adapun saat terbang, pesawat berada di ketinggian antara 31 ribu dan 42 ribu kaki. Yang mana itu lebih tinggi dari puncak everest dengan 29.029 kaki. Kendati demikian, terbang tak sama seperti berada di ketinggian Everest. Itu karena pesawat memiliki sistem pengatur tekanan kabin yang mengkondisikan tekanan layaknya berada pada ketinggian 8 ribu kaki.
Namun begitu, perubahan tekanan kabin juga bisa membuat perut pelancong mengembang akibat gas, khususnya saat perut anda terisi.
Menurut ahli pencernaan di Providence Saint John's Health Center di California, Rudolph Bedford, usus memiliki rongga berisi udara yang melebar untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tekanan yang tiba-tiba. Itu disebut mirip seperti telinga tengah.
"Perubahan tekanan kabin dan saturasi oksigen, serta getaran dan gerakan pesawat, dapat menghambat pengosongan lambung," kata Allen.
Artinya, makanan yang telah dicerna tidak dapat bergerak ke usus kecil dan lebih sulit untuk melakukan proses pencernaan. Hal itu juga dapat menyebabkan rasa kembung dan mual. Selain itu, lamanya penerbangan juga menjadi faktor. Menghabiskan banyak waktu dengan duduk di kursi yang sempit bisa menekan perut dan mempersulit makanan untuk tercerna.
"Menjadi kurang aktif akan memperlambat motilitas usus Anda, sehingga memperparah kembung dan sembelit," kata seorang ahli pencernaan di Memorial Hermann Health System di Texas, Sri Naveen Surapaneni.
Selain itu, stres juga bisa menjadi pemicu perut kembung. Penelitian menunjukkan bahwa usus memiliki hubungan yang erat dengan otak. Orang yang mengalami kecemasan saat terbang akan melepaskan hormon stres kortisol yang mengurangi aliran darah dan oksigen ke sistem pencernaan. Mungkin hal itu yang membuat seseorang sering mulas saat panik melanda.
"Bagi banyak orang yang mengalami kecemasan, naik pesawat dan terbang dalam waktu lama dapat menstimulasi gejala kembung, kram pada perut, dan perasaan seperti kupu-kupu di dalam perut," ujar Bedford.
Bahkan menurut ahli pencernaan, penerbangan akan memperburuk bagi seorang yang memiliki permasalahan pencernaan seperti sindrom iritasi usus besar (IBS) atau radang usus (IBD). Namun, menurut Bedford meningkatnya gejala itu biasanya karena kecemasan terbang, seperti penundaan penerbangan atau perubahan jadwal tak terduga.
Cara Mencegahnya
Namun, ada cara untuk mencegah masalah diare dalam penerbangan. Pakar usus menyarankan untuk pelancong minum banyak air.
"Ketika anda bepergian, anda biasanya tidak banyak minum, sehingga anda mengalami dehidrasi," ujar Allen.
"Dehidrasi akibat tingkat kelembaban yang rendah di dalam kabin dapat memperlambat pencernaan dan memperburuk konstipasi serta gejala-gejala IBS yang sudah ada sebelumnya," kata Surapaneni.
Selain itu, sebelum terbang pilihlah makanan ringan dan tidak terlalu berat. Misalnya makanan berprotein rendah lemak dan makanan kaya serat. Bedford juga menganjurkan orang untuk tidak makan setidaknya 30 menit sebelum penerbangan.
Saat tengah berada di pesawat, pelancong juga sebaiknya menghindari anggur, kopi, dan minuman berkarbonasi.
(wkn/fem)