Jakarta -
Nyaris 80 persen kepala pemerintahan daerah di Jepang mendukung penerapan sistem tidak adanya lagi keharusan istri memakai nama kepanjangan suami saat sudah menjadi keluarga. Hal ini terungkap dalam survei Kyodo News, baru-baru ini.
Dukungan tersebut juga diyakini bisa meningkatkan keinginan menikah di tengah merosotnya angka perkawinan Jepang hingga 50 persen dibandingkan lima tahun terakhir. Isu tersebut juga muncul di tengah perdebatan utama pemilihan pimpinan Partai Demokrat Liberal pada 27 September yang akan memilih pengganti Perdana Menteri Fumio Kishida.
Bila mengacu regulasi saat ini, pasangan suami istri harus memiliki nama keluarga yang sama dan banyak menggunakan nama belakang suami. Kurangnya pilihan tersebut dikritik karena dianggap mengganggu identitas pribadi dan berpotensi menghambat karier, tetapi kaum konservatif berpendapat nama keluarga yang terpisah dapat memengaruhi keutuhan keluarga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Survei terhadap 47 gubernur prefektur dan 1.741 kepala pemerintahan kota menerima tanggapan dari 1.667 orang, sekitar 93 persen dari mereka yang disurvei. Survei tersebut dilakukan dari bulan Juli hingga Agustus.
Dari responden, 78 persen mendukung perubahan untuk mengizinkan nama keluarga terpisah, dengan 22 persen mengatakan bahwa hal itu harus diakui dan 56 persen mengatakan bahwa jika ditanya, mereka akan cenderung mendukung pengakuannya.
Dalam bagian pilihan ganda, alasan yang paling sering dikutip di antara responden yang mendukung pilihan untuk nama keluarga terpisah di 76 persen adalah bahwa hal itu tidak wajib dan tidak menyebabkan kerugian bagi pasangan yang ingin hidup dengan nama yang sama.
Hal lain yang paling banyak dikutip berikutnya adalah 61 persen mengatakan hal itu memungkinkan orang untuk terus bekerja dengan nama keluarga sebelum menikah, menghilangkan hambatan karier.
Alasan lain, yang dipilih 37 persen responden adalah bahwa hal itu memungkinkan pasangan untuk mendapatkan kedudukan yang lebih setara, dengan wanita tidak harus mengubah nama suaminya tanpa keinginannya. Hal itu juga dinilai memungkinkan pernikahan tanpa tugas administratif seperti mengubah daftar keluarga, SIM, atau rincian bank.
Dari 17 persen yang menyatakan penolakan, 14 persen mengatakan mereka enggan menyetujui sistem tersebut, sementara hanya 3 persen yang mengatakan mereka memilih tidak berpendapat. Responden yang tersisa tidak mengambil posisi yang mendukung atau menentang nama keluarga yang berbeda.
Mengenai alasannya, 64 persen mengatakan hal itu akan merusak rasa persatuan keluarga, sementara 39 persen mengatakan wajar bagi keluarga untuk memiliki nama keluarga yang sama.
Di antara alasan lainnya, 32 persen mengatakan hal itu akan menimbulkan ketidaknyamanan sehari-hari bagi pasangan untuk memiliki nama keluarga yang berbeda, dan 30 persen mengatakan hal itu akan menyebabkan anak-anak menerima perlakuan yang tidak masuk akal.
Pada 1996, sebuah panel Kementerian Kehakiman merekomendasikan agar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata direvisi untuk mengizinkan nama keluarga yang berbeda. Namun, rancangan undang-undang itu tidak pernah sampai ke parlemen karena adanya tentangan dari anggota parlemen konservatif.
Sejak saat itu, hanya sedikit kemajuan yang dicapai karena pemerintahan berturut-turut telah mengambil sikap hati-hati, tampaknya karena adanya tentangan dari pihak konservatif.
(naf/naf)