Eddy Soeparno Ingatkan Pentingnya Transisi Energi untuk Hadapi Krisis

1 month ago 17
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online

Jakarta -

Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno menegaskan bahwa Indonesia menghadapi titik kritis dalam kebijakan energi nasional. Dia menyoroti bahwa ketergantungan yang tinggi pada energi fosil di tengah ancaman perubahan iklim harus segera diakhiri.

Menurutnya, peningkatan aktivitas industri, pembangunan pabrik, dan pertumbuhan pusat data yang merupakan konsumen energi dalam jumlah besar menuntut strategi penyediaan energi yang berkelanjutan. Di sisi lain, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon hingga mencapai target dekarbonisasi pada tahun 2060.

Namun saat ini, 61 persen pembangkit listrik nasional masih berbasis batu bara. Sementara target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 tampaknya belum akan tercapai, adapun realisasi bauran EBT hingga tahun ini masih berkisar antara 17 hingga 19 persen. Hal tersebut diungkapkan olehnya saat forum MPR RI Goes to Campus, bertajuk 'Urgensi Transisi Energi Mencegah Dampak Perubahan Iklim' di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta Barat, Selasa (3/6).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tapi Indonesia ini negara yang diberkahi. Kita punya cadangan energi fosil yang besar dari minyak dan gas. Meski produksi minyak menurun, gas bumi kita masih cukup melimpah. Batu bara? Kita mungkin punya cadangan terbesar kedua di dunia. Dengan tingkat produksi saat ini, bisa digunakan terus selama 200 tahun ke depan tanpa habis," ujar Eddy dalam keterangannya, Rabu (4/6/2025).

Namun begitu, dia merasa ironi ketika Indonesia justru masih sangat bergantung pada energi impor. Setiap hari, sekitar 1 juta barel minyak mentah harus diimpor dengan nilai sekitar 65 juta dolar AS per hari atau mencapai 23 miliar dolar AS per tahun.

Dia menjelaskan ketergantungan ini juga terlihat dalam kebutuhan LPG di mana 75 persen pasokan LPG 3 kilogram berasal dari luar negeri.

"Ketahanan energi kita saat ini lemah. Ketergantungan pada impor energi membuat kita rentan terhadap gejolak global seperti yang kita alami saat pandemi COVID-19 ketika pasokan terganggu dan harga energi melonjak tajam," jelasnya.

Menurutnya, transisi energi bukan hanya soal keberlanjutan pasokan, melainkan juga bagian dari upaya serius menghadapi krisis iklim. Dia menyoroti kualitas udara Jakarta yang kerap menjadi yang terburuk di dunia. Serta suhu ekstrem yang melanda berbagai wilayah Indonesia, sebagai bukti nyata dari kondisi darurat iklim global.

"Ini bukan lagi climate change, ini climate crisis. Kita melihat dampaknya langsung dari suhu 38 derajat di Nusa Tenggara Timur (NTT), mencairnya salju abadi di Puncak Carstensz, hingga meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di kota-kota besar," ungkapnya.

Eddy pun menyoroti pentingnya keberadaan payung hukum untuk mempercepat transisi energi. Saat ini, DPR RI bersama pemerintah tengah merampungkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) untuk memberikan kepastian regulasi bagi pelaku usaha dan industri.

"Tanpa payung hukum yang kuat, kita tak bisa memberikan insentif bagi yang taat, ataupun menjatuhkan sanksi bagi pelanggar. Kita perlu arah dan mekanisme transisi yang konkret dan bisa diukur," jelasnya.

Eddy Soeparno mendorong kolaborasi dari berbagai pihak dalam mempercepat langkah-langkah konkret seperti penguatan transportasi publik berbasis listrik oleh pemerintah daerah dan pemanfaatan energi surya oleh dunia industri. Termasuk peralihan rumah tangga ke kompor induksi yang lebih efisien dan mengurangi beban subsidi LPG. Di saat yang sama, kebijakan pensiun dini PLTU batu bara serta penerapan pajak karbon dinilai penting untuk mengurangi emisi dan memberikan efek jera terhadap pelaku industri beremisi tinggi.

Dia menyerukan peran aktif seluruh komponen masyarakat, khususnya kalangan akademisi untuk menjadi bagian dari solusi. Dia menegaskan bahwa isu energi bukan sekadar wacana elit, melainkan persoalan sehari-hari yang memengaruhi kualitas hidup seluruh warga negara.

"Setiap kali kita menyalakan lampu atau AC, kita sedang berbicara tentang masa depan energi bangsa. Kampus memiliki peran strategis dalam menyumbangkan data, ilmu pengetahuan, dan inovasi untuk membangun masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Ini adalah panggilan untuk bertindak," ungkapnya.

Sementara itu, Rektor Universitas Trisakti Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA menyampaikan hal senada, ia juga mengingatkan kembali peristiwa tahun 2007 ketika mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, menerima Hadiah Nobel Perdamaian berkat kampanyenya mengenai bahaya global warming dan climate change.

"Waktu itu banyak orang belum menyadari urgensinya. Namun kini, dampaknya sangat nyata-banjir terjadi di mana-mana, bukan hanya di negara berkembang, tapi juga di negara-negara maju," ungkap Prof. Kadarsah.

Prof. Kadarsah meny...

Read Entire Article