Bolehkah Nama Negara Digunakan sebagai Merek Dagang? Ini Regulasinya

5 hours ago 2
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online

Jakarta -

Penggunaan nama negara sebagai bagian dari merek dagang dan/atau jasa menjadi perbincangan hangat di dunia kekayaan intelektual (KI). Apalagi di era saat ini, banyak pelaku usaha yang ingin memanfaatkan nama negara untuk membangun citra merek yang kuat dan terpercaya.

Namun, di sisi lain, negara juga memiliki kepentingan untuk melindungi identitas nasionalnya agar tidak disalahgunakan atau disalahartikan oleh pihak tertentu.

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Razilu menegaskan, regulasi di Indonesia mengatur ketat pendaftaran merek yang mengandung nama negara untuk mencegah penyalahgunaan dan potensi menyesatkan konsumen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penggunaan nama negara dalam merek dagang dan/atau jasa bukan hanya soal estetika atau strategi pemasaran, tetapi juga menyangkut aspek hukum yang kompleks.

Regulasi Ketat dalam Penggunaan Nama Negara sebagai Merek

Razilu menjelaskan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) telah menetapkan batasan penggunaan nama negara dalam merek. Berdasarkan Pasal 21 ayat (2) huruf (b), permohonan merek dapat ditolak apabila mengandung tiruan atau menyerupai nama, singkatan nama, bendera, lambang, simbol, atau emblem suatu negara, kecuali mendapat izin tertulis dari pihak yang berwenang.

"Prinsipnya, nama negara bisa digunakan sebagai merek, tetapi harus mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang. Hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan negara dan menghindari kebingungan di masyarakat," ujar Razilu, dalam keterangan tertulis, Selasa (1/7/2025).

Lebih lanjut, Razilu menegaskan merek yang menggunakan nama negara tidak boleh bersifat menyesatkan atau deskriptif terhadap barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Pihaknya menjelaskan sebuah merek akan ditolak apabila berpotensi memperdaya konsumen tentang asal geografis produk.

"Merek Swiss Watch untuk produk jam tangan didaftarkan oleh perusahaan dari negara lain, Indonesia misalnya, kemungkinan besar akan ditolak karena dapat memberi kesan bahwa produk tersebut berasal dari Swiss, padahal belum tentu demikian," jelas Razilu.

Di Indonesia, beberapa merek yang mengandung kata yang merujuk pada negara, seperti American Standard atau American Tourister, tetap dapat didaftarkan. Menurut Razilu, Hal ini dikarenakan istilah 'American' dalam merek tersebut dianggap sebagai kata sifat yang mendeskripsikan sesuatu, bukan sebagai nama negara secara langsung.

"Penggunaan nama negara dalam merek harus dianalisis konteksnya terlebih dahulu. Jika merujuk langsung pada suatu negara, maka diperlukan izin," kata Razilu.

"Namun, jika hanya bersifat deskriptif dan tidak menyesatkan, maka masih ada kemungkinan untuk diterima," sambungnya.

Namun, untuk nama negara seperti Indonesian Airlines misalnya, penerapannya bisa lebih ketat. Jika merek tersebut membuat publik percaya bahwa layanan tersebut merupakan maskapai nasional Indonesia, tanpa izin resmi dari pemerintah, maka dapat berpotensi ditolak.

Kasus-Kasus Penolakan dan Penegakan Hukum

Menurut Razilu, sejauh ini DJKI telah menangani berbagai kasus penolakan merek yang mengandung nama negara. Salah satunya adalah penolakan permohonan pendaftaran merek bernomor D002015040642 karena menggunakan simbol dan nama Swiss pada merek Swiss Marine tanpa persetujuan otoritas terkait.

Kasus ini menunjukkan regulasi diterapkan secara ketat untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan nama negara. Menurut Razilu, sebagai langkah preventif, UU MIG memberikan hak atau kesempatan kepada setiap pihak untuk mengajukan keberatan/oposisi terhadap permohonan pendaftaran merek yang sedang dalam masa pengumuman (publikasi).

"Selain itu, para pemeriksa merek yang bertugas dalam pemeriksaan substantif dapat menolak permohonan yang menggunakan nama negara dan memenuhi unsur sebagaimana Pasal 20 huruf b dan huruf c, jo. Pasal 21 Ayat (2) huruf b UU MIG," papar Razilu.

Selain itu, dalam konteks penegakan hukum, UU MIG memberikan ruang bagi pihak yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan pembatalan atau penghapusan merek yang dianggap melanggar ketentuan. Razilu menyebut jika ditemukan penyalahgunaan, pemegang merek bisa menghadapi konsekuensi hukum, termasuk tuntutan di Pengadilan Niaga.

DJKI dan Aturan Internasional

Pengaturan mengenai penggunaan nama negara sebagai merek bukan hanya diterapkan di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain. Pasal 6ter Konvensi Paris mengatur bahwa negara anggota wajib menolak pendaftaran merek yang menggun...

Read Entire Article