BPJS Kesehatan Sudah Gelontorkan Dana Rp 1.087,4 T untuk Layanan JKN

1 month ago 21
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online

Jakarta -

BPJS Kesehatan telah menggelontorkan dana sampai Rp 1.087,4 triliun untuk membiayai layanan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selama lebih dari satu dekade. Anggaran jumbo ini sebagian besar digunakan untuk penyakit katastropik menyerap sampai 31% dari total pembiayaan.

Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IX DPR RI, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti memberitahu penyakit jantung menjadi beban pembiayaan tertinggi, diikuti oleh stroke, kanker, gagal ginjal, thalasemia, hemofilia, leukimia, dan sirosis hati.

"Penyakit jantung menjadi beban pembiayaan tertinggi, diikuti oleh stroke, kanker, gagal ginjal, thalasemia, hemofilia, leukimia, dan sirosis hati. Sejak 2014 hingga 2024, total pembiayaan untuk penyakit-penyakit katastropik tersebut telah mencapai lebih dari Rp 235 triliun," ucap Ghufron dalam keterangan resminya, Senin (26/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guna menjamin efisiensi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana, BPJS Kesehatan mengembangkan sistem digital untuk transparansi pembayaran klaim. Melalui dashboard informasi klaim, fasilitas kesehatan kini dapat memantau seluruh proses klaim, mulai dari pengajuan, status verifikasi, hingga realisasi pembayaran.

Bukan hanya itu dashboard juga menampilkan data utilisasi layanan kesehatan, sistem antrian pasien, hingga kanal pengaduan peserta secara terintegrasi.

"Kami ingin semua fasilitas kesehatan memiliki akses informasi yang terbuka. Transparansi ini penting, karena akan memperkuat rasa saling percaya dan menjamin kesinambungan pelayanan," ucap Ghufron.

BPJS Kesehatan juga menerapkan skema Uang Muka Pelayanan Kesehatan (UMP) sebagai solusi bagi rumah sakit mitra yang tengah menunggu verifikasi klaim. Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Abdul Kadir menjelaskan bahwa dana ini diberikan agar rumah sakit tetap dapat menjalankan pelayanan tanpa terganggu persoalan likuiditas.

"Sepanjang tahun 2024, BPJS Kesehatan telah menyalurkan UMP senilai Rp16,97 triliun, dengan rata-rata 419 rumah sakit per bulan menerima manfaat ini. Sebelumnya, pada tahun 2023 BPJS Kesehatan juga mengucurkan Rp11,39 triliun untuk pemberian UMP ke rumah sakit," jelas Abdul.

Abdul menegaskan bahwa, UMP ini merupakan komitmen BPJS Kesehatan untuk memastikan pelayanan kepada peserta JKN tidak mengalami kendala.

"Dengan pendekatan yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan kolaborasi, BPJS Kesehatan terus memperkuat perannya sebagai penyelenggara Program JKN. Pembiayaan yang tepat sasaran dan sistem pembayaran yang dapat dipantau secara terbuka, menjadi pondasi utama dalam memastikan penyelenggaraan Program JKN dapat terus tumbuh dan memberikan perlindungan menyeluruh bagi seluruh penduduk Indonesia," ujar Abdul.

Dalam rapat yang sama, Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto, menyampaikan pandanganya soal implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Ia menilai kebijakan ini masih harus dikaji lebih dalam dan tidak dijalankan secara terburu-buru.

"Disarankan batas uji coba implementasi KRIS diperpanjang hingga 31 Desember 2025. Selain itu, penerapannya perlu dikaji kembali seperti apa nantinya," ujarnya.

Edy juga mengingatkan bahwa terdapat aspirasi kuat dari masyarakat yang menolak sistem satu kelas, termasuk dari berbagai elemen.

"Apindo menyampaikan bahwa penolakan terhadap penerapan KRIS dengan satu kelas perawatan, karena berpotensi mengurangi jumlah tempat tidur. Tak hanya itu, serikat pekerja dari seluruh Indonesia juga menyatakan penolakan implementasi KRIS dengan satu kelas perawatan yang dikhawatirkan mengurangi manfaat yang didapat oleh peserta JKN, termasuk buruh. Begitu juga dengan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang menyangsikan kebijakan ini karena berdampak pada akses layanan kesehatan," ucap Edy.

Meski begitu, Edy mengakui bahwa uji coba KRIS memunculkan semangat baru dari rumah sakit untuk meningkatkan kualitas layanan, khususnya di ruang rawat kelas 3.

Tonton juga "BPJS Kesehatan Ciptakan JKN Bebas Kecurangan" di sini:

(anl/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

...
Read Entire Article