Jakarta -
Dalam salah satu persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), muncul argumen perihal jeratan pasal dalam Undang-Undang Tipikor bisa tertuju pada penjual pecel lele di trotoar. Pernyataan itu disampaikan salah satu ahli yang dihadirkan dalam sidang gugatan di MK. Begini ceritanya.
Sidang yang dimaksud adalah perkara nomor 142/PUU-XXII/2024. Pemohonnya adalah Syahril Japarin, Kukuh Kertasafari, dan Nur Alam.
Mereka mempermasalahkan muatan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Menurut mereka, perbuatan koruptif tak boleh dilihat dari apakah negara rugi atau tidak tetapi pemberantasan korupsi harus lebih banyak diarahkan pada pemberantasan suap, penggelapan dalam jabatan, hingga gratifikasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memangnya siapa 3 pemohon itu?
Mereka merupakan mantan terpidana perkara korupsi. Syahril selaku mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) dihukum 10 tahun penjara karena korupsi dalam pengelolaan keuangan Perum Perindo. Kukuh sebagai mantan pegawai PT Chevron Pacific Indonesia dijerat dalam kasus korupsi terkait pengelolaan limbah B3 dalam proses pertambangan minyak dan gas tetapi divonis bebas lewat putusan peninjauan kembali (PK).
Sedangkan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam dijatuhi hukuman penjara karena terbukti melakukan korupsi terkait izin tambang di Sultra tetapi sudah bebas usai menjalani hukuman. Nur Alam sejatinya dinyatakan bersalah berdasarkan Pasal 12B UU Tipikor tetapi dibebaskan dari dakwaan Pasal 2 atau 3 yang didakwakan jaksa pada tingkat kasasi.
Pada intinya mereka meminta MK menghapus pasal yang mengatur hukuman bagi pihak yang memperkaya diri dan menyebabkan kerugian negara dalam UU Tipikor. Sidang pun berlangsung hingga pada Jumat, 20 Juni 2025, mereka selaku pemohon mendapatkan giliran untuk menghadirkan ahli.
Dilihat dari situs MK, Jumat (20/6/2025), ahli yang dihadirkan adalah Chandra M Hamzah sebagai ahli hukum dan Amien Sunaryadi sebagai Ahli Keuangan. Menariknya adalah para ahli yang dihadirkan merupakan mantan Pimpinan KPK.
Nah, ahli yang dimaksud menyinggung perihal penjual pecel lele adalah Chandra M Hamzah. Dia berargumen bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bisa menimbulkan masalah.
"Menimbulkan problematika, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas lex certa maupun lex stricta," kata Chandra.
Supaya lebih jelas, begini bunyi pasal yang dimaksud:
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Pasal 3 UU Tipikor
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Menurut Chandra, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas lex certa maupun lex stricta. Dia mencontohkan tentang penjual pecel lele sebagai 'setiap orang' yang melakukan perbuatan 'melawan hukum' yaitu berjualan di trotoar untuk mencari keuntungan atau 'memperkaya diri sendiri' dan membuat fasilitas publik yaitu trotoar rusak sehingga dapat dianggap 'merugikan keuangan negara'.
"Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, maka penjual pecel lele di trotoar juga dapat dikenakan sanksi tersebut. Sebab, penjual pecel lele termasuk 'setiap orang' yang melakukan perbuatan 'melawan hukum' dengan berjualan di atas trotoar yang seharusnya digunakan pejalan kaki," kata Chandra.
"Maka penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara," imbuhnya.
"Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi. Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dengan men...